A. KONSEP
MEDIS
1. Pengertian
Fraktur
adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai dengan jenis dan
luasnya. Faktur terjadi jika tulang dikenai stress yang lebih besar dari yang
dapat diabsorbsinya. Fraktur dapat disebabkan oleh pukulan langsung, gaya
meremuk, gerakan putir, mendadak bahkan kontraksi otot ekstrem. Meskipun tulang
patah, jaringan sekitarnya juga akan terpengaruh, mengakibatkan edema jaringan
lunak, perdarahan ke otot dan sendi, dislokasi sendi, rupture tendo, kerusakan
saraf dan kerusakan pembuluh darah. (Brunner and Suddarth, 2001).
Fraktur
adalah pemisahan atau patahnya tulang. Gejala – gejala fraktur tergantung pada
sisi, beratnya dan jumlah kerusakan pada struktur lain, biasanya terjadi pada
orang dewasa laki-laki yang disebabkan oleh kecelakaan, jatuh, dan perilaku
kekerasan. (Marilyn, E. Doengoes, 1999).
Fraktur thorakal lumbal adalah fraktur yang mengenai daerah
tulang belakang terutama bagian thorakal lumbal. (Mansjoer 2000 : 351)
2.
Etiologi
Adapun
penyebab dari fraktur menurut Brunner and Suddart, 2001 adalah sebagai berikut
:
a. Trauma langsung merupakan utama
yang sering menyebabkan fraktur. Fraktur tersebut terjadi pada saat benturan
dengan benda keras.
b. Putaran dengan kekuatan yang berlebihan
(hiperfleksi) pada tulang akan dapat mengakibatkan dislokasi atau fraktur.
c.
Kompresi atau tekanan pada tulang
belakang akibat jatuh dari ketinggian, kecelakaan lalu lintas dan sebagainya.
d. Gangguan spinal bawaan atau cacat
sejak kecil atau kondisi patologis yang menimbulkan penyakit tulang atau
melemahnya tulang.
e.
Postur Tubuh (obesitas atau
kegemukan) dan “Body Mekanik” yang salah seperti mengangkat benda berat.
3.
Patofisiolog
Kolumna
vertebralis tersusun atas seperangkat sendi antara korpus vertebra yang saling
berdekatan. Diantaranya korpus vertebra mulai dari vertebra sevikalis kedua
sampai vertebra sakralis terdapat discus intervertebralis. Discus-discus ini
membentuk sendi fibrokartilago yang lentur antara korpus pulposus ditengah dan
annulus fibrosus di sekelilingnya. Nucleus pulposus merupakan rongga
intervertebralis yang terdiri dari lapisan tulang rawan dalam sifatnya
semigelatin, mengandung berkas-berkas serabut kolagen, sel – sel jaringan
penyambung dan sel-sel tulang rawan.
Zat-zat
ini berfungsi sebagai peredam benturan antara korpus vertebra yang berdekatan,
selain itu juga memainkan peranan penting dalam pertukaran cairan antara discus
dan pembuluh-pembuluh kapiler.
Apabila
kontuinitas tulang terputus, hal tersebut akan mempengaruhi berbagai bagian
struktur yang ada disekelilingnya seperti otot dan pembuluh darah. Akibat yang
terjadi sangat tergantung pada berat ringannya fraktur, tipe, dan luas fraktur.
Pada umumnya terjadi edema pada jaringan lunak, terjadi perdarahan pada otot dan
persendian, ada dislokasi atau pergeseran tulang, ruptur tendon, putus
persyarafan, kerusakan pembuluh darah dan perubahan bentuk tulang dan
deformitas. Bila terjadi patah tulang, maka sel – sel tulang mati. Perdarahan
biasanya terjadi disekitar tempat patah dan kedalaman jaringan lunak disekitar
tulang tersebut dan biasanya juga mengalami kerusakan. Reaksi peradangan hebat
timbul setelah fraktur.
4.
Manifestasi Klinis
Manifestasi
klinik fraktur adalah nyeri, hilangnya fungsi, deformitas, pemendekkan deformitas,
krepitus, pembengkakan lokal dan perubahan warna.
a. Nyeri terus menerus dan bertambah
beratnya sampai fragmen tulang diimobilasi. Spasme otot yang menyertai fraktur
yang merupakan bentuk bidai alamiah yang dirancang untuk meminimalkan gerakan
antar fragmen tulang.
b. Setelah terjadi fraktur, bagian –
bagian tak dapat digunakan dan cenderung bergerak secara tidak alamiah.
Pergeseran fragmen pada fraktur lengan atau tungkai menyebabkan deformitas yang
bisa diketahui dengan ekstermitas normal.
c. Terjadi pemendekan tulang karena
kontraksi otot yang melekat di atas dan bawah tempat fraktur.
d. Saat ekstermitas diperiksa teraba
adanya derik tulang dinamakan krepitus akibat gesekan antara fragmen satu
dengan yang lainnya.
e. Pembengkakan dan perubahan warna
lokal pada kulit yang terjadi sebagai akibat trauma dan perdarahan yang
mengikuti fraktur.
5.
Klasifikasi
Fraktur vertebra lumbal dibagi dalam
:
a. Fraktur prosesus tranvensus, dapat
terjadi karena trauma langsung atau oleh karena tarikan otot yang melekat pada
prosesus tranvesus pada prosesus tranvensus melekat otot yang kuat sehingga
dapat terjadi ovalsi bila terjadi fleksi lateral yang dipaksakan pada daerah
ini. Fraktur yang terjadi bersifat stabil sehingga pengobatan hanya
menghilangkan nyeri dan dilanjutkan dengan fisiotherapi
b.
Fraktur kompresi yang bersifat bagi dari badan vertebra
c.
Fraktur rekan badan vertebra
d.
Dislokasi dan fraktur dislokasi
e.
Trauma jack knife
Jenis fraktur ini terjadi karena
trauma fleksi disertai dengan distraksi pada vertebra lumbal jenis ini sering
ditemukan pada trauma sabuk pengaman dimana badan terdorong ke depan, sedang
bagian lain terfiksasi. Ditemukan adanya robekan pada ligamen longitudinal atau
fraktur pada tulang sendiri.
Jenis ini disebut juga fraktur
chance (1948) dimana vertebra terbelah melalui prosesus spinosus dan badan
vertebra. Mekanisme trauma dan pengobatan fraktur vertebra lumbal pada
prinsipnya sama dengan fraktur vertebra torakal. (Rasjad, 1998, hal. 521).
6.
Komplikasi
a.
Syok
Syok
hipovolemik akibat perdarahan dan kehilangan cairan ekstrasel ke jaringan yang
rusak sehingga terjadi kehilangan darah dalam jumlah besar akibat trauma.
b.
Mal union,
gerakan
ujung patahan akibat imobilisasi yang jelek menyebabkan mal union, sebab-sebab
lainnya adalah infeksi dari jaringan lunak yang terjepit diantara fragmen
tulang, akhirnya ujung patahan dapat saling beradaptasi dan membentuk sendi
palsu dengan sedikit gerakan (non union).
c.
Non union
Non union
adalah jika tulang tidak menyambung dalam waktu 20 minggu. Hal ini diakibatkan
oleh reduksi yang kurang memadai.
d.
Delayed union
Delayed
union adalah penyembuhan fraktur yang terus berlangsung dalam waktu lama dari
proses penyembuhan fraktur.
e.
Tromboemboli,
infeksi, kaogulopati intravaskuler diseminata (KID).
Infeksi terjadi karena adanya kontaminasi kuman pada fraktur terbuka atau
pada saat pembedahan dan mungkin pula disebabkan oleh pemasangan alat seperti
plate, paku pada fraktur.
f.
Emboli lemak
Saat
fraktur, globula lemak masuk ke dalam darah karena tekanan sumsum tulang lebih
tinggi dari tekanan kapiler. Globula lemak akan bergabung dengan trombosit dan
membentuk emboli yang kemudian menyumbat pembuluh darah kecil, yang memsaok ke
otak, paru, ginjal, dan organ lain.
g.
Sindrom Kompartemen
Masalah
yang terjadi saat perfusi jaringan dalam otot kurang dari yang dibutuhkan untuk
kehidupan jaringan. Berakibat kehilangan fungsi ekstermitas permanen jika tidak
ditangani segera.
h.
Cedera vascular dan kerusakan
syaraf yang dapat menimbulkan iskemia, dan gangguan syaraf. Keadaan ini
diakibatkan oleh adanya injuri atau keadaan penekanan syaraf karena pemasangan
gips, balutan atau pemasangan traksi.
7.
Pemeriksaan Penunjang
Pada klien
dengan trauma tulang belakang, biasanya dilakukan beberapa tes diagnostik untuk
menunjang diagnosa medis, yaitu :
1)
Foto Rontgen Spinal, yang
memperlihatkan adanya perubahan degeneratif pada tulang belakang, atau tulang
intervetebralis atau mengesampingkan kecurigaan patologis lain seperti tumor,
osteomielitis.
2)
Elektromiografi, untuk
melokalisasi lesi pada tingkat akar syaraf spinal utama yang terkena.
3)
Venogram Epidural, yang dapat
dilakukan di mana keakuratan dan miogram terbatas.
4)
Fungsi Lumbal, yang dapat
mengkesampingkan kondisi yang berhubungan, infeksi adanya darah.
5)
Tanda Le Seque (tes dengan
mengangkat kaki lurus ke atas) untuk mendukung diagnosa awal dari herniasi
discus intervertebralis ketika muncul nyeri pada kaki posterior.
6)
CT - Scan yang dapat menunjukkan
kanal spinal yang mengecil, adanya protrusi discus intervetebralis.
7)
MRI, termasuk pemeriksaan non
invasif yang dapat menunjukkan adanya perubahan tulang dan jaringan lunak dan
dapat memperkuat adanya herniasi discus.
Mielogram,
hasilnya mungkin normal atau memperlihatkan “penyempitan” dari ruang discus,
menentukan lokasi dan ukuran herniasi secara spesifik.
8.
Penatalaksanaan
a.
Pengobatan dan Terapi Medis
·
Pemberian anti obat antiinflamasi
seperti ibuprofen atau prednisone
·
Obat-obatan narkose mungkin
diperlukan setelah fase akut
·
Obat-obat relaksan untuk mengatasi
spasme otot
·
Bedrest, Fisioterapi
b.
Konservatif
Pembedahan
dapat mempermudah perawatan dan fisioterapi agar mobilisasi dapat berlangsung
lebih cepat. Pembedahan yang sering dilakukan seperti disektomi dengan
peleburan yang digunakan untuk menyatukan prosessus spinosus vertebra; tujuan
peleburan spinal adalah untuk menjembatani discus detektif, menstabilkan tulang
belakang dan mengurangi angka kekambuhan. Laminectomy mengangkat lamina untuk
memanjakan elemen neural pada kanalis spinalis, menghilangkan kompresi medulla
dan radiks. Microdiskectomy atau percutaeneus diskectomy untuk menggambarkan
penggunaan operasi dengan mikroskop, melihat potongan yang mengganggu dan
menekan akar syaraf.
B.
KONSEP KEPERAWATAN
1.
Pengkajian
Merupakan
tahap awal dari pendekatan proses keperawatan dan dilakukan secara sistematika
mencakup aspek bio, psiko, sosio, dan spiritual. Langkah awal dari pengkajian
ini adalah pengumpuln data yang diperoleh dari hasil wawancara dengan klien dan
keluarga, observasi pemeriksaan fisik, konsultasi dengan anggota tim kesehatan
lainnya dan meninjau kembali catatan medis ataupun catatan keperawatan.
Pengkajian fisik dilakukan dengan cara inspeksi, palpasi, perkusi dan
auskultasi.
Adapun
lingkup pengkajian yang dilakukan pada klien fraktur menurut Brunner and
Suddarth, 2002 adalah sebagai berikut :
a.
Data demografi/ identitas klien
Antara
lain nama, umur, jenis kelamin, agama, tempat tinggal, pekerjaan, dan alamat
klien.
b.
Keluhan utama
Adanya
nyeri dan sakit pada daerah punggung
c.
Riwayat kesehatan keluarga
Untuk menentukan
hubungan genetik perlu diidentifikasi misalnya adanya predisposisi seperti
arthritis, spondilitis ankilosis, gout/ pirai (terdapat pada fraktur
psikologis).
d.
Riwayat spiritual
Apakah
agama yang dianut, nilai-nilai spiritual dalam keluarga dan bagaimana dalam
menjalankannya.
e.
Aktivitas kegiatan sehari-hari
Identifikasi
pekerjaan klien dan aktivitasnya sehari-hari, kebiasaan membawa benda-benda
berat yang dapat menimbulkan strain otot dan jenis utama lainnya. Orang yang
kurang aktivitas mengakibatkan tonus otot menurun. Fraktur atau trauma dapat
timbul pada orang yang suka berolah raga dan hockey dapat menimbulkan nyeri
sendi pada tangan.
f.
Pemeriksaan fisik
1)
Pengukuran tinggi badan
2)
Pengukuran tanda-tanda vital
3)
Integritas tulang, deformitas
tulang belakang
4)
Kelainan bentuk pada dada
5)
Adakah kelainan bunyi pada
paru-paru, seperti ronkhi basah atau kering, sonor atau vesikuler, apakah ada
dahak atau tidak, bila ada bagaimana warna dan produktivitasnya.
6)
Kardiovaskuler: sirkulasi perifer
yaitu frekuensi nadi, tekanan darah, pengisian kapiler, warna kulit dan
temperatur kulit.
7)
Abdomen tegang atau lemas, turgor
kulit, bising usus, pembesaran hati atau tidak, apakah limpa membesar atau
tidak.
8)
Eliminasi: terjadinya perubahan
eliminasi fekal dan pola berkemih karena adanya immobilisasi.
9)
Aktivitas adanya keterbatasan
gerak pada daerah fraktur
10) Apakah ada
nyeri, kaji kekuatan otot, apakah ada kelainan bentuk tulang dan keadaan tonus
otot.
2.
Diagnosa
Diagnosa
keperawatan secara teoritis menurut Doengoes, 2000 untuk klien dengan gangguan
tulang belakang, yaitu :
a.
Gangguan rasa nyaman nyeri
berhubungan dengan agen pencedera fisik kompresi saraf: spasme otomatis.
b.
Kerusakan mobilitas fisik
berhubungan dengan nyeri: ketidaknyamanan; spasme otot; kerusakan
neuromuscular.
c.
Anxietas/ koping individu tidak
efektif berhubungan dengan krisis situasi; perubahan status kesehatan;
ketidakadekuatan mekanisme koping.
d.
Retensi urinarius berhubungan
dengan cedera vertebra.
3.
Intervensi
a.
Diagnosa keperawatan I
Gangguan
rasa nyaman nyeri berhubungan dengan agen pencedera fisik kompresi saraf:
spasme otomatis.
Tujuan :
Nyeri hilang atau terkonrol
Kriteria
hasil :
1.
Klien melaporkan nyeri hilang atau
terkontrol
2.
Klien dapat mengungkapkan yang
dapat menghilangkan
3.
Klien dapat mendomenstrasikan penggunaan
intervensi terapeutik seperti keterampilan relaksasi, modifikasi perilaku untuk
menghilangkan nyeri.
Dx
|
Intervensi
|
Rasional
|
1
|
1)
Kaji adanya keluhan nyeri, catat
lokasi, lama serangan, faktor pencetus atau memperberat. Minta klien untuk mendapatkan
skala nyeri 1 – 10.
2)
Pertahankan tirah baring selama
fase akut. Letakkan klien dalam posisi semi fowler dengan tulang spinal,
pinggang dan lutut dalam keadaan fleksi; posisi telentang dengan atau tanpa
meninggikan kepala 10° - 30° atau pada posisi lateral.
3)
Batasi
aktivitas selama fase akut sesuai kebutuhan
4)
Letakkan
semua kebutuhan, termasuk bel panggil dalam batas yang mudah dijangkau atau
diraih klien.
5)
Ajarkan teknik distraksi dan
relaksasi
6)
Instruksikan atau anjurkan klien
untuk melakukan mekanisme tubuh atau gerakan yang tepat.
7)
kesempatan untuk berbicara atau
mendengarkan masalah klien
8)
tempat tidur ortopedik atau
letakan papan dibawah kasur atau matras.
9)
Berikan obat sesuai kebutuhan:
relakskan otot seperti Diazepam (Valium)
|
1)
Membantu menentukan intervensi
dan memberikan dasar untuk perbandingan dan evaluasi terhadap terapi.
2)
Tirah baring dalam posisi yang
nyaman memungkinkan klien untuk menurunkan penekanan pada bagian tubuh
tertentu dan intervertebralis.
3)
Menurunkan
gaya gravitasi dan gerak yang dapat menghilangkan spasme otot dan menurunkan
edema dan tekanan pada struktur sekitar discus intervertebralis yang terkena.
4)
Menurunkan resiko peregangan
saat meraih
5)
Memfokuskan perhatian klien dan
membantu menurunkan tegangan otot dan meningkatkan proses penyembuhan.
6)
Menghilangkan stress pada otot
dan mencegah trauma lebih lanjut
7)
Berbicara dapat menurunkan
strees atau rasa takut selama dalam keadaan sakit dan dirawat
.
8)
Memberikan sokongan dan
menurunkan fleksi spinal yang menurunkan spasme
9)
Merelaksasikan otot dan
menurunkan nyeri
|
b.
Kerusakan mobilitas fisik
berhubungan dengan nyeri: ketidaknyamanan; spasme otot; kerusakan
neuromuscular.
Tujuan :
Kerusakan mobilitas fisik tidak terjadi
Kriteria
hasil :
1. Klien mengungkapkan
pemahaman tentang situasi atau faktor resiko dan aturan pengobatan individu.
2.
Mendemonstrasikan teknik atau perilaku yang mungkin
3.
Mempertahankan atau meningkatkan kekuatan dan fungsi bagian tubuh yang sakit
atau kompensasi.
Dx
|
Intervenasi
|
Rasional
|
2
|
1)
Berikan tindakan pengamanan
sesuai indikasi dengan situasi yang spesifik.
2)
Catat
respon-respon emosi atau perilaku pada immobilisasi, berikan aktivitas yang
disesuaikan dengan klien.
3)
klien untuk melaksanakan latihan
rentang gerak aktif dan pasif
4)
Anjurkan klien untuk melatih
kaki bagian bawah dan lutut
5)
Bantu klien dalam melakukan
ambulasi progresif
|
1)
Tergantung pada bagian tubuh
yang terkena atau jenis prosedur, aktivitas yang kurang berhati-hati akan
meningkatkan kerusakan spinal.
2)
Immobilisasi
yang dipaksakan dapat memperbesar kegelisahan, peka rangsangan. Aktivitas
pengalihan dapat membantu dalam memfokuskan perhatian dan meningkatkan koping
dengan batasan tersebut.
3) Memperkuat
otot abdomen dan fleksor tulang belakang, memperbaiki mekanika tubuh.
4)
Stimulasi sir vena atau arus
balik vena menurunkan keadaan vena yang statis dan kemungkinan terbentuknya
trombus.
5)
Keterbatasan aktivitas
tergantung pada kondisi yang khusus, tapi biasanya berkembang dengan lambat
sesuai toleransi.
|
c.
Anxietas/ koping individu tidak
efektif berhubungan dengan krisis situasi; perubahan status kesehatan;
ketidakadekuatan mekanisme koping.
Tujuan :
Adaptasi klien efektif
Kriteria
hasil :
1. Tampak
rileks dan melaporkan ansietas berkurang pada tingkat dapat diatasi.
2.
Mengidentifikasi ketidakefektifan perilaku koping
3.
Mendemonstrasikan pemecahan masalah
Dx
|
Intervensi
|
Rasional
|
3
|
1)
Kaji tingkat anxietas pasien.
2)
Berikan informasi yang akurat
dan jawab dengan jujur
3)
Berikan pasien untuk mengungkapkan
masalah yang dihadapinya
4)
Kaji adanya masalah sekunder
yang mungkin merintangi keinginan untuk sembuh.
5)
Cara perilaku dari orang
terdekat atau keluarga yang meningkatkan peran sakit.
6)
Rujuk pada kelompok pelayanan sosial,
konselor finansial, psikoterapi dan sebagainya.
|
1)
Membantu
mengidentifikasi dalam keadaan sekarang.
2)
Memungkinkan pasien untuk
membuat keputusan yang didasarkan atas pengetahuan.
3)
Meningkatkan koping yang sedang
dihadapi
4)
Memberikan perhatian terhadap
klien, tanggung jawab untuk meningkatkan penyembuhan.
5)
Orang terdekat keluarga secara
tanpa sadar memungkinkan untuk mempertahankan sesuatu yang dapat klien
lakukan.
6)
Memberikan dukungan untuk
beradaptasi pada perubahan dan memberikan sumber – sumber untuk mengatasi
masalah.
|
d.
Retensi urinarius berhubungan
dengan cedera vertebra
Tujuan :
Setelah dilakukan tindak keperawatan retensi urinarius teratasi.
Kriteria
hasil : Mengosongkan kandung kemih secara adekuat sesuai kebutuhan individu.
Dx
|
Intervensi
|
Rasional
|
4
|
1)
Observasi
dan catat jumlah frekuensi berkemih
|
1)
Menentukan
apakah kandung kemih dikosongkan dan saat kapan intervensi itu diperlukan.
|
2)
Lakukan palpasi terhadap adanya
distensi kandung kemih
|
2)
Menandakan adanya retensi urine
|
|
3)
Tingkat pemberian cairan
|
3)
Mempertahankan fungsi ginjal
|